Disertasi Moqsith Ghazali memelintir Sirah Nabawiyah. Ajaran Islam dikoyak demi pluralisme agama. Padahal, Vatikan saja menolak paham ini.
Oleh Erdy Nasrul
Pada sebuah pengajian rutin bulanan, Abdul Moqsith Ghazali, anggota Jaringan Islam Liberal (JIL) hadir menjadi pembicara. Di sebuah tempat di Plaza Pondok Indah I, Moqsith memaparkan temuan-temuannya yang dirajut dalam disertasi doktoral dan dibukukan. Judulnya “Argumen Pluralisme Agama.”
Itu bukan judul asli. Awalnya berjudul, “Sikap al-Qur’an terhadap Agama Lain.” Supaya lebih menjual, judulnya diubah. Ceritanya, ia menulis disertasi itu karena sebagian orang menerima atau menolak pluralisme agama dengan mengutip ayat al-Qur’an. Disertasi itu mencoba menemukan ‘titik temu’ antar keduanya.
Ketika membahas ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip, Moqsith menggunakan metode hermeneutik, sebuah metode penafsiran injil yang kemudian dikembangkan dalam posmodernisme. “Hermeneutika hanya bekerja untuk melacak bagaimana suatu teks dimunculkan oleh pengarangnya, muatan apa yang ingin dimasukkan ke dalam teks, dan bagaimana melahirkan makna,” tulisnya.
Untuk mendukung pluralisme agama, Moqsith menyelewengkan Sirah Nabawiyah. Dia mengatakan Nabi Muhammad saw pernah menikahi wanita Kristen koptik bernama Maria Qibtiyyah. Ia juga menyebutkan ada sahabat yang menikahi wanita ahlul kitab yakni, Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah, Khudzaifah bin Yaman, dan Sa’ad bin Abi Waqash.
Tak puas mendistorsi sirah, ia mengobok-obok ajaran Islam. Dia menulis, “… terutama Yahudi dan Nasrani, Islam tak menafikkan konsep-konsep ajarannya. Kebenaran wahyu dalam agama-agama itu tidak bertentangan satu dengan lainnya.” Untuk mendukung argumennya, ia mengutip surat al-Maidah ayat 48.
Ia memaparkan kesamaan tiga agama itu.
Pertama, tidak ada tuhan yang patut disembah selain Tuhan, Allah, yang menciptakan alam raya.
Kedua, perintah menghindari kejahatan. Atas dasar kesaman ini, Moqsith menilai, yang katanya pendapat para ahli Usul Fikih, syariat sebelum Islam bisa menjadi sumber hukum Islam.
Untuk lebih menguatkan argumennya, ia mengutip pendapat mantan pendeta yang kini menjadi Muslim, Jerald F Dirks, “Ketiga agama itu tidak hanya sebagai satu tradisi, tapi juga sebagai satu agama.”
Dasar kesamaan ini juga menjadi acuan masalah pindah agama. Moqsith menilai, hak memilih atau keluar dari suatu agama melekat pada setiap orang.
“Dengan analog bahwa orang non-Muslim dibolehkan pindah ke agama Islam, maka seorang Muslim pun mestinya dibolehkan pindah ke agama non-Islam,” tulisnya.
Dengan terang-terangan, ia menguraikan, pindah agama dibolehkan jika agama yang dipeluk sebelumnya dipandang tak sesuai dengan dirinya.
Selesai mengobrak-abrik pandangan Islam yang melarang umatnya pindah agama, Moqsith memaparkan masalah keselamatan yang diberikan Allah pada manusia. Sebelum ia sampai pada kesimpulan, Moqsith memaparkan dua fakta sejarah.
Pertama, ketika orang kafir Quraisy mengejar umat Islam, nabi mencari perlindungan pada Najasyi, raja Abisinia yang Kristen. Ratusan sahabat nabi, termasuk Utsman bin Affan dan istrinya (Ruqayyah, putri Rasulullah), Abu Hudzaifah bin ‘Utbah, Zubair bin ‘Awwam, Abdurrahman bin ‘Auf, dan Ja’far bin Abi Thalib ikut dalam eksodus itu.
Kedua, Abu Ubaidillah al-Mahdi, khalifah pertama dinasti Fathimiyah, pernah minta nasihat orang Kristen tentang lokasi ibukota negara yang tepat.
Fakta yang dikutip dari buku Islam Inklusif Alwi Shihab ini, digunakan untuk berasumsi bahwa Islam mengakui ajaran agama dan umat agama lain. Parahnya, ia menyimpulkan,
“Menurut al-Qur’an, umat non-Muslim pun akan diselamatkan Allah sejauh mereka menjalankan agamanya dengan sungguh-sungguh, dan menjalankan amal salih sebagaimana ditetapkan dalam kitab suci masing-masing.”
Jalaluddin Rahmat, memuji buku ini, saat bedah buku berlangsung. Ia mengatakan, karya ini menjadi landasan bagi yang ingin menikah beda agama.
Kang Jalal menilai demikian karena Moqsith berhasil mengubah pengertian musyrik, bukan menyekutukan Allah, tapi orang yang berbuat jahat.
Puluhan orang liberal ikut memuji buku ini. Diantaranya Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Nasaruddin Umar yang menulis, “Karya ini menyajikan hasil kerja akademik excellent yang mengungkapkan universalitas Islam dalam perspektif al-Qur’an.” Pujian habis-habisan juga ditulis Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat Dawam Rahardjo.
Dawam berkomentar, “Karya Moqsith ini mengingatkan kita pada buku Ibnu Rushd, Tahafut al-Tahafut, yang melawan wacana al-Ghazali.”
Mengomentari pemikiran Moqsith, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Bidang Ghazwul Fikri Adian Husaini mengatakan, Moqsith tidak memberikan definisi pluralisme agama yang jelas. Doktor bidang Pemikiran Islam ini mengatakan, paham ini mengajarkan jalan semua agama itu sah, sehingga paham ini bisa merusak akidah umat Islam.
“Konsili Vatikan tahun 2000 lalu saja sudah melarang paham ini dan dosen-dosen Vatikan yang menyuarakan paham ini langsung dipecat, kenapa di Indonesia justru kian berkembang?” ujarnya.
Peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization, Hamid Fahmy Zarkasyi mengatakan, berbagai tulisan tentang pluralisme agama, pada akhirnya mengakui kesamaan agama-agama.
Mengomentari pendapat Moqsith tentang syariat Islam, ia mengatakan, Islam sendiri sudah sempurna, tidak perlu lagi mengambil dari syari’at agama lain.
“Bagaimana bisa mengambil syariat agama lain, jika kitab mereka tak asli lagi?” Tanyanya.
Majlis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah melarang paham ini sejak empat tahun lalu. Dalam Sidang Komisi Fatwa MUI, 29 Juli 2005, yang dipimpin oleh Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma’ruf Amin, menghasilkan keputusan bahwa pluralisme agama bertentangan dengan ajaran Islam.
Jelas sudah, pluralisme agama memang tak sesuai dengan Islam. Lantas, untuk apa meyakini dan memperjuangkan paham ini? (Eman Mulyatman)
http://sabili.co.id/index.php/200904291645/Liputan/Demi-Pluralisme-Sirah-Nabi-Diplintir.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar