21 September, 2010

Mengeroyok Islam Lewat FPI dan Muhamadiyah

Awal 2005, Penulis ikut dalam rombongan relawan yang diberangkatkan MER-C ke Banda Aceh pasca gempa-tsunami 26 Desember 2004. Diantara anggota kafilah terdapat beberapa anggota FPI (Front Pembela Islam). Dua diantaranya masih remaja dari Bekasi. Mereka memiliki keahlian menangani sumur manual dan penjernihan air. Ketika keberangkatan terus tertunda dan calon penumpang pesawat Garuda termasuk kami dievakuasi ke sebuah hotel bintang lima di kawasan Ancol untuk beristirahat, para anggota FPI senior memilih menginap di markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat. Sedangkan dua remaja tadi setengah hati menikmati fasilitas hotel. ‘’Mau jadi relawan kok malah kesasar jadi wisatawan,’’ ujar seorang dari mereka sambil tersenyum kecut.

Di Banda Aceh, FPI membuka Posko di tempat yang sama sekali pihak lain tidak berminat menempatinya: Taman Makam Pahlawan. Dari sinilah Habib Rizieq Shihab terjun langsung mengomandoi lebih seratus anak buahnya untuk mengevakuasi dan menguburkan mayat korban bencana alam secara Islami. Harta benda yang masih tersisa pada mayat seperti dompet beserta isinya, perhiasan, dan lain-lain, dikumpulkan, lalu diserahkan kepada ahli warisnya atau kepada aparat setempat. Seluruh kegiatan FPI dalam rangka aksi kemanusiaan membantu rakyat Aceh dalam musibah Tsunami 2004 itu, terekam dalam ratusan foto yang amat tragis dan kini dipajang di kantor FPI di kawasan Petamburan Jakarta Barat. Aksi kemanusiaan FPI ini tak pernah disebut-sebut oleh pers nasional secara memadai. Padahal anggota FPI, telah memakamkan janazah korban Tsunami itu sedikitnya 70.000 janazah.

Ketika bendungan Situ Gintung ambrol 27 Maret 2009, Penulis acap mampir ke Posko FPI di sebuah mushola di lembah komplek perumahan Cireundeu Permai. Di situ terpajang foto-foto aksi FPI dalam menanggulangi dampak bencana bersama unsur masyarakat lainnya. Sebuah spanduk lebar terbentang yang isinya menawarkan bala bantuan FPI 24 jam gratis beserta hotline-nya untuk bersih-bersih rumah, mencari anggota keluarga yang hilang, dan sebagainya.

Saat gempa mengguncang Sumatera Barat akhir September 2009, Penulis mendapati relawan FPI tekun membersihkan reruntuhan sebuah surau di kawasan Padang Pariaman.

Apa hendak dikata, aktivitas utama FPI tersebut, nyaris tidak pernah mendapat tempat di media massa. Yang sengaja dipilih dan diekspos dari FPI oleh sebagian besar media massa adalah kegiatan ‘’rusuh’’. Meskipun kerusuhan itu dalam rangka penggerebekan sarang kemaksiatan.

‘’Kebohongan yang diulang-ulang dan terus-menerus lama kelamamaan akan dianggap jadi kebenaran’’. Lantaran massif-nya media massa menayangkan aksi FPI yang diwarnai ‘’kerusuhan’’, dan aksi “kekerasan” akhirnya bagi sebagian orang FPI identik dengan kerusuhan dan kekerasan bahakan anarchie. Bahkan ketika personil FPI absen atau hanya ada segelintir pun dalam sebuah kerusuhan, maka tetap saja beritanya kerusuhan itu ulah FPI. Kasus ‘’pengusiran’’ Gus Dur di Purwakarta, kasus Monas, dan yang terbaru kasus Banyuwangi, sekadar contoh bagaimana FPI dijadikan kambing hitam dan sasaran tembak sekaligus untuk mengalihkan persoalan dari subtansi yang sebenarnya.

Jurus keji itu pula yang kini digunakan Ulil Abshar Abdalla. Pengasong Seipilis (Sekulerisme-Pluralisme-Liberalisme) ini kabarnya di-drop out dari Harvard University, dan lembaganya terancam kehilangan dolar lantaran perubahan kebijakan Presiden AS Hussein Obama. Sebelumnya Ulil juga di-DO dari LIPIA Jakarta. Tokoh JIL ini terpental pula dari struktur PBNU. Maka dapat dimaklumi ketika ia mendapat tempat di partai penguasa (Demokrat), luapan frustrasinya akibat kegagalan terus-menerus, dilampiaskan pada FPI.

Selain menjadi kanalisasi beban psikologisnya, kampanye Ulil untuk membubarkan FPI juga merupakan setoran kepada penguasa yang didominasi Partai Demokrat. Kata Ulil, ‘’Lupakan dulu Century, mari bubarkan FPI!’’ Ucapan ini niscaya tidak akan keluar dari seseorang yang rusak mulutnya, melainkan rusak akal sehatnya. Bagaimana mungkin membandingkan FPI dan Skandal Century. FPI hanyalah soal ‘’kecil’’ yang dibesar-besarkan media massa, sedangkan Skandal Century adalah terorisme ekonomi yang dahsyat, yang kalau dituntaskan bisa merembet ke Istana.

Kalau mau bubar-bubaran, mestinya lembaga komplotan Ulil seperti JIL dan sejenisnya yang perlu diprioritaskan untuk dibubarkan. Mereka selama ini menjadi komprador dan panen dolar secara illegal. Padahal, seperti disebutkan Direktur An Nashr Institute, Munarman, UU No 8 Tahun 1985 menyebutkan bahwa organisasi massa dilarang menerima bantuan asing tanpa persetujuan pemerintah. Pelanggaran atas ketentuan tersebut dapat diberikan sanksi pembekuan kepengurusan.Jelas di sini duduknya soal, kata Muanarman, sebenarnya yang pantas dibubarkan dan diusut pelanggaran UU-nya justru lembaga Ulil ini yakni JIL (Jaringan Islam Liberal).” Kata Munarman tandas saat berdebat di TV One minggu lalu.

Sebaliknya, menurut Luthfie Hakim pengacara senior yang juga tampil berdebat soal FPI di Metro TV, “FPI yang terdaftar di Depdagri dengan SK No 69/DIII.3/VIII/2006, seharusnya diberi tunjangan dana APBN. Sebab, FPI selama ini telah membantu pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi penyakit masyarakat seperti perjudian, perzinahan, dan premanisme,” ujarnya yang dalam acara itu, Luthfie mendapat konfirmasi langsung via telepon dari Mendagri Gamawan Fauzi, bahwa FPT ternyata organisasi yang terdaftar dan legal.

Bahwa di internal FPI sendiri ada ‘’penyakit’’, itu lumrah dalam sebuah organisasi. Apalagi lembaga yang namanya menasional seperti FPI. Selama ini pimpinan pusat FPI pun tak segan memberi sanksi internal sejak skorsing, pemberhentian anggota, hingga pembekuan organisasi cabang. Tapi ngotot membubarkan FPI sambil melupakan Skandal Century, sekali lagi ini hanya buah pikir otak yang rusak. Tampak jelas dalam kasus wacana pembubaran FPI yang telah berulangkali muncul dan ingin dipaksakan itu, tersisip rencana jahat mendiskreditkan Islam sebagai kekuatan dan agama yang besar, dengan cara mengeroyok dan mendiskreditkan FPI yang kecil.

Selain FPI, lembaga umat yang tengah jadi sorotan nasional adalah Muhammadiyah. Alhamdulillah, Muktamar ke-46 sekaligus peringatan seabad Persyarikatan ini berhasil menjaga independensinya dari intervensi penguasa. Prof Sirajudin (Din) Syamsuddin yang terpilih kembali sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, berjanji akan membawa ormas ini tetap kritis kepada penguasa sebagaimana belakangan ini.

Sayangnya, meskipun unsur Sepilis berhasil ditepis dari pengurus pusat, strategi budaya Sepilis berhasil menyusup ke Muhammadiyah. Setelah sineas liberal Hanung Bramantyo melayarputihkan KH Ahmad Dahlan dalam ‘’Sang Pencerah’’, timbul pula rencana memfilmkan sepak terjang pemikir liberal Syafi’i Ma’arif.

Kita akui Syafi’i Ma’arif sangat kritis terhadap Amerika dan Israel. Bahkan ia tak sungkan mengungkap ucapan mantan komandan SBY di ketentaraan bahwa SBY sudah lama Americanized. Syafi’i juga pernah menolak mentah-mentah tawaran berkonspirasi dengan agen Amerika untuk menangkap dan memenjarakan Ustadz Abu Bakar Baasyir dengan dalih terorisme.

Namun, di bidang pemikiran Islam, mindset Syafi’i Ma’arif sama saja dengan komplotan JIL. Meskipun artikulasi Syafi’i dalam hal ini tidak seugal-ugalan Ulil dan kawan kawan, namun tetap saja mindset-nya berbahaya, bahkan bisa lebih menghancurkan secara substansial. Sulit mengoreksi pola pikir orang yang sudah telanjur ditokohkan, sepuh, dan agak arogan seperti Syafii Maarif.

Wabil khusus kepada ormas Islam semacam FPI dengan busananya yang khas, Syafii pernah melontarkan istilah keji ‘’preman berjubah’’. Kali lain dia mengemukakan istilah sarkas: “Otak-otak Sederhana”. Belakangan pun ia getol menyerukan pembubaran FPI. Syafii bagai ikut menabuh “beduk opini” menjelang, dan selama berlangsungnya muktamar Muhammadiyah bersama-sama sejumlah koran nasional seperti Kompas dan Media Indonesia. Kompas dengan sangat tendensius mempengaruhi jalannya mutamar melalui rubrik-rubrik khusus Muktamar Muhammadiyah. Silih berganti tokoh-tokoh diwawancarai dengan mengarahkan agar Muhammadiyahj berganti haluan menjadi liberal dan diserahkan kepada generasi muda. Bahkan Muhammadiyah didorong sebagai organisasi terbuka dan menampung anggota Non-Muslim. “Jika Muhammadiyah tetap di tangani orang-orang tua bagai membuat Muhammadiyah betul-betul organisasi jompo”, kata Syafii sekali lagi.

Adalah Taufiq Ismail, penyair yang juga putra ulama kharismatis Ghaffar Ismail mencoba untuk mengingatkan kepada para muktamirin dengan mengirimkan sms, agar pengaruh liberalisasi Muhammadiyah lewat media film karya sutradara muda Hanung Bramantyo yang kekiri-kirian itu dibahas dalam muktamar. Tampaknya usulan ini tidak mendapat respon. Walau upaya Hanung hendak me-launching filmnya Sang Pencerah sebuat riwayat KH.Ahmad Dahlan dalam muktamar gagal, karena film tersebut belum siap. Kini malah terdengar kabar Hanung hendak membuat film tentang Syafii Maarif. Kabarnya Taufiq Ismail bersama FUI (Forum Umat Islam) akan menemui Din Syamsuddin untuk mempertanyakan ihwal penting ini.

Upaya sangat agresif mengeroyok aspirasi Islam seperti digambarkan di atas lewat pendeskreditan PFI dan membonceng muktamar Muhammadiyah, sungguh kasus yang luar biasa dan sangat ironis terus digencarkan di negeri Muslim terbesar di dunia ini. Hal ini terjadi karena penguasaan media massa baik cetak dan elektronika berada di tangan kaum Islamo-phobia itu.Hal-hal yang musykil terus saja menimpa umat Islam yang berniat hendak menjalankan perintah agamanya. Ingat saja peristiwa penghapusan Tujuh Kata dalam Piagam Jakarta, hakikatnya adalah upaya terselubung kaum anti Islam. Missi seperti itu kini semakin gencar dan semakin mudah ditebarkan seolah-olah menjadi opini dan pendirian seluruh rakyat Indonesia. FPI yang militant dan memberantas kemaksiatan justru dianggap sebagai aib, sebagai kejahatan dan hal itu identik Islam. Begitu halnya Muhammadiyah yang konservatif dan kembali ke basis Islam yang sebenarnya dituduh-tuduh sebagai puritan, kolot, bodoh, jompo dan seterusnya. Seperti umat Islam ini hanya terdiri orang-orang yang benar-benar bodoh. Terus di kuyo-kuyo aspirasinya. Upaya ini mutlak harus dihentikan. (Aru Syeif Assadullah, Nurbowo)

Suara-Islam.Com

http://kabarnet.wordpress.com/2010/07/11/mengeroyok-islam-lewat-muhammadiyah-dan-fpi/comment-page-1/#comment-21285

20 September, 2010

Negeri Muslim Beribu Gereja

Negeri Muslim Beribu Gereja

......Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Agama (Depag) Dr. Imam Tholkhah, MA, menyangkal tuduhan SKB dua menteri itu membatasi pendirian gereja. Nyatanya, kata Imam, meskipun ada SKB, persentase gereja yang dibangun meningkat pesat, jauh melampaui masjid.

�Kalau kita lihat data sesungguhnya, pertumbuhan gereja justru meningkat tajam. Bahkan persentase kenaikannya lebih besar gereja ketimbang tempat ibadah umat lainnya, seperti masjid,� kata Imam saat ditemui SABILI di kantornya di Masjid at-Tin, Jakarta Timur.

Berdasarkan data Depag, kata Imam, rumah ibadah umat Kristen melonjak 131,38 persen dari 18.977 pada tahun 1977 menjadi 43.909 buah pada tahun 2004. Gereja Katolik naik 152,79 persen dari 4.934 pada tahun 1977 menjadi 12.473 buah pada tahun 2004.

Sementara itu, masjid, rumah ibadah umat Islam hanya mengalami pertumbuhan sebesar 64,22 persen dari 392.044 pada tahun 1977 menjadi 643.834 pada tahun 2004. �Jelas pertumbuhan masjid lebih rendah ketimbang gereja,� tambahnya.

Jika mengacu pada laporan Depag di atas, maka persentase orang yang beribadah di masjid jumlahnya juga jauh lebih padat ketimbang orang yang beribadah di gereja. Satu masjid akan dipadati sebanyak 4.050 orang Islam, jika asumsi jumlah umat Islam berdasarkan laporan Depag tahun 2004 sebesar 177.528.772 jiwa dengan jumlah masjid tahun 2004 sebanyak 643.834 buah.

Satu gereja Kristen dipadati 269 orang penganutnya, jika jumlah kaum Kristen tahun 2004 sebesar 11.820.077 dengan jumlah gereja Kristen sebanyak 43.909 buah. Sementara itu, satu gereja Katolik akan dipadati sebanyak 491 orang, jika jumlah umat Katolik sebesar 6.134.902 dengan jumlah gereja sebanyak 12.473 buah.

Data Depag tersebut belum termasuk gereja-gereja yang berdiri di mal-mal, di kantor-kantor atau gedung-gedung mewah di Jakarta. Atau gereja-gereja non permanen, gereja kapel dan rumah-rumah yang disulap menjadi gereja, terutama di daerah-daerah terpencil.

Jika gereja-gereja yang tak terdata dijumlahkan dengan data resmi Departemen Agama, maka bisa jadi jumlah gereja yang didapat akan fantastik dan mengagetkan banyak orang. Negeri Muslim beribu gereja?

Jika benar negeri yang mayoritas berpenduduk Muslim, seperti Indonesia ini memiliki jumlah gereja yang signifikan, maka ini benar-benar fenomena langka dan mungkin saja kasus pertama kali terjadi di dunia. ......

Selengkapnya : http://swaramuslim.net/fakta/more.php?id=A5090_0_16_0_M

16 September, 2010

Klarifikasi FPI Tentang Kasus Ciketing

Redaksi menerima keterangan klarifikasi yang menjelaskan kasus 12 September 2010 di Ciketing, Bekasi. Berikut kutipan lengkapnya:

Peristiwa Bekasi, Ahad 3 Syawwal 1431 H atau 12 September 2010, bukan perencanaan tapi insiden. Bukan penghadangan tapi perkelahian. Bukan penusukan tapi tertusuk. Karena sembilan pelaku adalah ikhwan yang sedang lewat berpapasan dengan 200 HKBP. Lalu terjadi perkelahian, saling pukul, saling serang, saling tusuk, saling terluka.

Jika perencanaan, mana mungkin sembilan ikhwan berbaju Muslim dengan identitas terbuka! Jika penghadangan, mana mungkin sembilan menghadang 200! Jika penusukan, mana mungkin sembilan ikhwan lebam-lebam, luka, patah tangan, bahkan ada yang tertusuk juga!

Ketua FPI Bekasi Raya dinon-aktifkan DPP FPI bukan karena salah, tapi untuk melancarkan roda organisasi FPI Bekasi Raya yang teramat berat tantangannya. Beliau pejuang, bukan pecundang. Beliau tidak ada di lokas kejadian. Beliau hanya kirim SMS ajakan kepada umat Islam untuk membela warga Ciketing. Tapi dituduh provokator. Sedangkan pendeta HKBP yang mengajak, membawa dan memimpin massa dan memprovokasi warga Muslim tak diperiksa satu pun.

Pertanyaannya, kenapa tidak diperiksa? Kenapa kegiatan HKBP setiap ahad di Ciketing yang menggelar konvoi keliling perumahan warga Muslim dengan lagu-lagu rohani secara demonstratif dibiarkan? Kenapa dua pendeta yang membawa pistol dan menembakkannya ke arah warga pada insiden 8 Agustus 2010 tidak ditangkap? Kenapa dua jemaat HKBP yang membawa pisau saat insiden 12 September 2010 sudah ditangkap lalu dilepaskan? Kenapa jemaah HKBP yang memukul dan menusuk sembilan ikhwan tidak ditangkap?

Keadilan harus ditegakkan! Kezaliman harus dilawan!

Source:
http://sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2419:klarifikasi-fpi-tentang-kasus-ciketing&catid=87:berita-anda&Itemid=286

HKBP, Pembakaran Masjid Fiisabilillah di Desa Lumban Huluan Lobu, Porsea, Toba Samosir Sumatera Utara dan Kepatuhan SKB

HKBP, Pembakaran Masjid Fiisabilillah di Desa Lumban Huluan Lobu, Porsea, Toba Samosir Sumatera Utara dan Kepatuhan SKB
Thursday, 16 September 2010 09:26


Sebelumnya, sebuah masjid Fiisabilillah di Desa Lumban Huluan Lobu, Porsea, Toba Samosir Sumatera Utara dibakar massa pada Jumat 27 Juli 2010 sekitar pukul 05.00 WIB. Tapi liputan tak sebesar HKBP



oleh: Ali Akbar bin Agil

















Peristiwa penganiayaan penatua Hasian Lumban Toruan Sihombing dan Pendeta Luspida Simanjuntak berbuntut panjang. Semua pihak angkat bicara sampai Presiden SBY pun ikut cawe-cawe. Persoalan bertambah rumit kala media massa menyorongkan opini dengan menuduh FPI sebagai aktor intelektual.





Anggapan demikian didasari kenyataan bahwa FPI-lah yang paling getol menentang adanya tempat peribadatan non-Muslim di daerah pemukiman warga yang mayoritas beragama Islam. Selain itu, publik ‘dipaksa’ mengamini dakwaan sepihak tentang klaim keterlibatan FPI dengan dasar laman Facebook Ketua FPI Bekasi Raya Murhali Barda yang memiliki lebih 4.000 teman, dimana ia beberapa kali menulis status 'menyerang' jemaat HKBP Kampung Ciketing, Mustika Jaya, Bekasi.





Padahal FPI sudah menyatakan tidak ada anggotanya yang terlibat dalam insiden penusukan dan pengeroyokan jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Ketua Umum FPI Habib Rizieq Syihab pun menegaskan secara organisasi, FPI melarang keras anggotanya melakukan penganiayaan dan pembunuhan menggunakan senjata tajam dalam aksi apapun. Larangan ini tertera di setiap kartu anggota FPI.





Kembali ke soal penusukan jemaat HKBP, berita terakhir menyatakan bahwa sudah ada 10 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus kriminal tersebut.

Menilik berita yang ada, rentetan peristiwa demi peristiwa menyiratkan ada ketidaktegasan dan hilangnya kepatuhan dalam menjalankan SKB dua menteri tetang izin mendirikan rumah peribadatan. Sikap lamban inilah yang menimbulkan resistensi warga sekitar.





SKB





Ada dua persoalan antara Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan warga Desa Ciketing, Bekasi Timur.


Pertama, menjalankan agama dan keyakinan yang dianut. Setiap penduduk Indonesia telah mendapat jaminan konstitusional untuk memeluk, meyakini, dan menjalankan agamanya sebagaimana diamanatkan dalam UUD 45 pasal 29.





Kedua, pendirian rumah ibadah. Mendirikan rumah ibadah adalah hak sebuah komunitas dalam satu agama yang juga mendapatkan jaminan konstitusional hanya saja, dalam soal izin mendirikan rumah ibadah, ada proses perizinan yang mesti ditaati bersama yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No 9.





Peraturan bersama ini dirancang untuk semua agama tanpa terkecuali dan dibuat secara kolektif, melibatkan semua unsur agamawan yang berkompeten. Maka, jika tidak istiqamah menjalankan, berarti ada pengkhianatan yang akibatnya seperti bisa kita lihat dalam kasus HKBP.





Memang, rumah ibadat harus didirikan ketika itu menjadi kebutuhan umat untuk beribadat di tempat tersebut.





Namun, banyak rumah ibadat dibangun bukan karena kebutuhan masyarakat di tempat tersebut, sehingga menciptakan konflik dengan masyarakat setempat.





Inilah yang tidak dibaca secara cerdas oleh mereka yang memaksakan kehendaknya untuk beribadah di tempat yang tidak semestinya. Bola kini ada di tangan pemerintah setempat. Harapan kita bersama adalah, bahwa sepelik apapun persoalan yang ada, dialog haruslah diutamakan guna mencari solusi. Dan tindak kriminal yang menimpa jemaat HKPB harus diusut secara tuntas agar tidak membuat gaduh hubungan antar umat beragama di tanah air tanpa melupakan kasus pembakaran masjid, tentunya!





Jauh sebelum gegap-gempita pemberitaan kasus di atas, telah terjadi perkara yang lebih nista dan juga tak kalah melanggar hukum. Yaitu pembakaran Masjid Fiisabilillah di Desa Lumban Huluan Lobu, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) Sumatera Utara, Jumat 27 Juli 2010 sekitar pukul 05.00 WIB.





Sayangnya, nyaris tidak ada media massa yang mengangkatnya sebagai isu nasional kecuali beberapa media Islam yang gaungnya tidak seberapa.





Pembakaran rumah ibadah umat Islam ini toh tak membuat SBY turun tangan, Polri juga tak menunjukkan kecepatan mengambil tindakan.





Pertanyaan kita, apa yang membuat beda peristiwa HKBP --yang kasusnya sudah lama dipetanyakan masyarakat Bekasi-- dan pembakaran masjid Fiisabilillah?





Mengapa media massa dan serta LSM bungkam ketika masjid dibakar?Apakah mereka pura-pura atau memang mengabaikan peristiwa ini?





Wallahua’lam.



Penulis adalah pengajar di Ponpes. Darut Tauhid, Malang.Email: al_akbar84@yahoo.co.id

Sumber:
http://hidayatullah.com/kolom/opini/opini/13304-hkbp-pembakaran-masjid-dan-kepatuhan-skb



__._,_.___

Mushollah BaitusSyakuur 1430 H

Mushollah BaitusSyakuur 1430 H
Tampak dari samping pintu utama