17 Agustus, 2010

KH Noer Alie Sang Ulama Pejuang

KH Noer Alie Sang Ulama Pejuang

KH Noer Alie Sang Ulama Pejuang. Kepulangan Noer Alie ke kampung halamannya, Ujungmalang menjadi duri dalam daging bagi tuan tanah dan pemerintah Hindia Belanda. Setelah mendirikan madrasah dan menikah dengan Siti Rahmah binti Mughni. Noer Alie menghimpun kekuatan umat, diantaranya membangun jalan tembus Ujungmalang–Teluk Pucung pada Tahun 1941. Sebagai pimpinan Islam yang sudah masuk dalam daftar Shimubu ( Kantor Urusan Agama ) pada masa pendudukan Jepang ( 1942-1945 ), Noer Alie menyikapi dengan sangat hati–hati.

Pada pertengahan April 1942 Noer Alie memenuhi undangan tentara Jepang menghadap pimpinan Shimubu di kantor Shimubu, dekat masjid Matraman, Jatinegara. Ternyata disana ada Muhamad Abdul Muniam Inada, pelajar Jepang yang menjadi temannya di Makkah, yang menjadi ketua Shimubu.

Menyadari posisinya dalam kondisi serba salah, dengan kemahiranya berdiplomasi, Noer Alie secara halus menolak ajakan Muniam dengan alasan “ Saya sedang memimpin pesantren yang baru didirikan. Kalau saya terjun bersama ulama lain , bagaimana nasib santri saya, mereka akan tercerai berai tak terurus”. Dengan alasan yang masuk akal tersebut Munian mengijinkan Noer Alie untuk tetap mengurus pesantren sambil “ tetap berdoa demi kemakmuran Asia Raya “

Dengan mendapat jaminan keamanan dari Munian, Noer Alie menyadari konsesi yang harus dibayar yaitu beliau harus menjamin keamanan daerahnya, mengibarkan bendera Jepang dan melaksanakan Seikeirei ( membungkukkan badan )

Bagi Noer Alie konsesi tersebut tetap dituruti, tetapi keyakinan Jepang tentang kedewaan kaisar bertabrakan langsung dengan iman Islam, karena serupa dengan rukuk dalam shalat

Menyikapai hal demikian Noer Alie hanya memerintahkan para badal dan santrinya untuk melakukan Seikeirei pada saat datang tentara Jepang saja sebagai taktik demi keselamatan perjuangan

Untuk mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu bangsa Indonesia harus bertempur secara fisik, Noer Alie menyalurkan santrinya ke dalam Heiho ( pembantu prajurit ), Keibodan ( barisan pembantu polosi ) diteluk pucung. Salah seorang santrinya Marzuki Alam dipersilahkan mengikuti latihan kemiliteran Pembela Tanah Air ( PETA )

Noer alie mendapat informasi langsung dari badalnya ( anak buah ), Yakub Gani yang menghadiri langsung pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 dan pada tanggal 19 September 1945 pada rapat raksasa dilapangan Ikada ( sekarang lapangan Monas ) Noer Alie datang dengan mengendarai delman

Gelar Kiai Haji ( KH ), sebelumnya Noer Alie dipanggil dengan sebutan Guru diganti oleh orator besar Soetomo ( Bung Tomo ) yang menyebut nama Noer Alie beberapa kali dalam siaran radionya di Surabaya, Jawa Timur.

Pada bulan November 1945 KH Noer Alie membentuk Laskar Rakyat, seluruh badal dan santrinya diperintahkan memfakumkan proses belajar mengajar mendukung perjuaangan dan beliau juga mengeluarkan fatwa “ Wajib hukumnya berjuang melawan penjajah “ sehingga dalam waktu singkat terhimpun sekitar 200 orang yang merupakan gabungan para santri dan pemuda sekitar babelan, Tarumajaya, Cilincing, Muaragembong yang kesemunya secara mental dilatih lansung oleh KH Noer Alie dan secara fisik dilatih dasar dasar kemiliteran oleh Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) Bekasi dan Jatinegara seperti Anis Taminuddin, Darmokumoyo dan Gondokusumo

Akhir tahun 1945 dibentuk kesatuan bersenjata yang berafiliasi kepada partai politik. Saat itu Abu GhozAlie sebagai komandan resimen Hizbullah Bekasi ( badan pejuangan Partai Majelis Sjuro Muslimin Indonesia / Masjumi ) menunjuk KH Noer Alie sebagai komandan Batalyon III Hizbullah Bekasi.

Pada tanggal 06 Januari 1946 KH Noer Alie menyatukan badan-badan perjuangan dalam wadah Laskar Rakyat Bekasi karena beliau mengkhawatikan akan terjadi perpecahan antara badan-badan pertahanan karena situasi politik saat itu, dimana beberapa kesatuan bersenjata mulai berebut haluan pertahanan dan kemudian Laskar Rakyat Bekasi yang telah terbentuk tersebut terpaksa beliau tinggalkan karena adanya desakan agar Laskar Rakyat Bekasi bergabung ke dalam Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka yang bersikap konfrontatif kepada pemerintah.

Kekhawatiran KH Noer Alie akan melemahnya perjuangan karena perpecahan yang terjadi dalam barisan pertahanan terbukti dengan terjadinya pertempuran antara sejumlah badan pertahanan dengan TNI seperti terjadi di Tambun dan Karawang.

Kelemahan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Belanda dengan melakukan agresi militer belanda I pada tanggal 21 Juli 1947. Badan perjuangan yang belum sempat melebur kedalam TNI bobol dan bercerai - berai tanpa pimpinan yang kuat

KH Noer Alie yang sudah memutuskan untuk tidak aktif di militer sebelum agresi militer Belanda I terpanggil kembali jiwa perjuangannya untuk mempertahankan Republik Indonesia karena waktu itu Pemerintahan Republik Indonesia pada tingkat lokal lumpuh secara de facto ( fakta ) maupun secara de jure ( hukum )

Pada saat itu pergerakan yang masih tersisa adalah satu pasukan TNI setingkat kompi yang tidak berdaya dan anggotanya cuma tinggal belasan orang tanpa uniform TNI dibawah kendali Mayor Lukas Kustaryo yang berjuang berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain dan berlindung kepada sahabatnya KH Noer Alie seorang tokoh Kahrismatis setempat

KH Noer Alie yang tidak rela Tanah Airnya dikuasai penjajah, menghimpun orang orang kepercayaannya untuk melaksanakan musyawarah darurat di Wadas, Karawang yang memutuskan untuk menyusun kembali kekuatan Indonesia, melakukan perlawanan bersenjata dan mengembalikan moral rakyat agar tetap berpihak kepada Indonesia

Pada musyawarah tersebut juga diputuskan bahwa KH Noer Alie diutus untuk menghadap Panglima Besar Jenderal Soedirman di Jogjakarta, maka bersama lima orang anak buahnya ( Mahmud Maksum, Ahmad Djaelani As’ari, M Zainudin Mughni, Hasan Dagang dan seorang dari Kosambi ) KH Noer Alie berangkat ke Jogjakarta dengan kereta api

Sesampai di Jogjakarta rombongan KH Noer Alie diterima oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohadjo ( Jenderal Soedirman tidak berada ditempat ) dari Letnan Jenderal Oerip Soemohadjo KH Noer Alie diperintahkan untuk menyusun kembali pasukan dan melakukan perlawanan secara bergerilya.

Pada bulan September 1947 dengan sisa pasukan yang tercerai – berai mereka menddiran organisasi perlawanan gerilya yang terpisah dari Hizbullah – Sabilillah pusat dengan nama Markas Pusat Hizbullah – Sabilillah ( MPHS ) yang diketua langsung oleh KH Noer Alie

Pada tanggal 10 Januari 1948 Mohammad Moe’min, Wakil Residen Jakarta,dari pihak Republik Indonesia mengangkat KH Noer Alie sebagai Koordinator ( Pejabat Bupati ) Kabupaten Jatinegara. Namun jabatan pemetinta yang seharusnya dimulai pada tanggal 15 Januari 1948 tidak berlangsung lama karena pada tanggal 17 Januari 1948 terjadi perjanjian Renville yang mengharuskan tentara Indonesia di Jawa Barat hijrah ke Jawa Tengah dan Banten. KH Noer Alie memilih Hijrah ke Banten dengan membawa 100 orang pasukan dari kompi Syukur.

Ketika perlawanan bersenjata mulai mereda, pada tahun 1949 KH Noer Alie memilih berjuang di lapangan sipil diminta membantu Muhammad Natsir sebagai anggota delegasi Republik Indonesia Serikat di Indonesia dalam konprensi Antar Indonesia–Belanda

Dalam kesempatan tersebut KH Noer Alie dalam beberapa kesempatan membahas kelanjutan perjuangan dengan tokoh-tokoh nasional di Jakarta seperti Muhammad Natsir, Mr. Yusuf Wibisono, Mr. Muhammad Roem, Muhammad Syafe’i dan KH Rojiun dan kemudian beliau untuk menyalurkan aspirasi politiknya, bergabung dalam partai Masjumi

Pada bulan Januari 1950, KH Noer Alie bersama teman-teman dan anak buahnya seperti R. Supardi, Madnuin Hasibuan, Namin, Taminudin, Marzuki Hidayat, Marzuki Urmani, Nurhasan Ibnuhajar, A. Sirad, Hasan Syahroni dan Masturo membentuk Panitia Amanat Rakyat.

Pada tanggal 17 Januari 1950, Panitia Amanat Rakyat ini kemudian menghimpun sekitar 25 ribu rakyat Bekasi dan Cikarang di Alun-Alun Bekasi. Mereka mendeklarasikan resolusi yang menyatakan penyerahan kekuasaan pemerintah Federal kepada Republik Indonesia. Pengembalian seluruh Jawab Barat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia

Dan KH Noer Alie bersama Lukas Kustaryo menuntut agar nama kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi. Tuntutan tersebut diterima oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir, sehingga pada tanggal 15 Agustus 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi di Jatinegara serta selanjutnya dimasukkan kedalam wilayah Provinsi Jawa Barat
[ Muslim Pilihan ]
http://www.myrazano.com/muslim-pilihan/kh-noer-alie-sang-ulama-pejuang.html

Hanya Islam yang memerdekakan negeri ini

Hanya Islam yang memerdekakan negeri ini
Diposting Pada 23 Jul 2010

“Kalaulah suatu penduduk Negeri beriman dan bertaqwa kepada Allah, niscaya kami akan membuka kan berkah buat mereka dari langit dan dari bumi…” (Al-A’raf : 96)

Setiap tanggal 10 November rakyat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan Nasional. 10 November sebuah tanggal yang monumental buah perjuangan arek-arek Suroboyo di bawah pimpinan pejuang besar kemerdekaan, Bung Tomo. Namun naas, karena sejarah milik penguasa. Nasib Bung Tomo tiada ubahnya bak pesakitan dan pengkhianat bangsa. Ia di penjara oleh rezim yang berkuasa. Namun bagaimana pun juga, akhir sejarah Allah lah yang menentukan. Bung Karno kena tulah dari ucapannya yang terkenal “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa para pahlawannya.” Ia terjungkal dari kekuasaan dengan cara yang mengenaskan dan jadi pesakitan yang sebenarnya, karena ulahnya tidak mampu menghargai jasa para pejuang. Hal yang sama terjadi kepada penggantinya, Soeharto.

Bung Tomo Jum’at 7 November 2008 lalu akhirnya ditetapkan oleh pemerintah sebagai pahlawan Nasional bersama Dr. Mohammad Natsir dan KH. Abdul Halim. Ketiga Mujahid pejuang kemerdekaan ini-seandainya masih hidup-mungkin akan bergumam “ah, malu aku. Hanya seperti inikah kemampuan pelanjutku dalam menghargai perjuangan yang berdarah-darah itu?” Bukan berarti mereka mengharapkan penghargaan. Terlintas di pikiran pun tentunya tidak.

Dr. Mohammad Natsir seorang Ulama besar yang diakui dunia, da’i, pendidik dan politisi ulung yang mempersatukan negara-negara boneka buatan kolonial Belanda dengan mosinya yang terkenal, Mosi Integral Natsir, menjadi Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI). Mosi yang disebut-sebut sebagai proklamasi kemerdekaan Indonesia yang kedua setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Akhirnya dipercaya menjadi Perdana Menteri pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia . Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan di tiga kabinet yang berbeda masa Soekarno. Dimana menurut pengakuan Bung Hatta, Bung Karno tidak pernah mau menandatangani surat-surat pemerintah jika tidak disusun dan dibaca dulu oleh Natsir.

KH. Abdul Halim Ulama kharismatik asal Majalengka Jawa Barat – penulis sendiri lahir dan besar di kota yang sama merasakan kharisma beliau yang begitu kuat pada masyarakat setempat – melahirkan banyak para pejuang kemerdekaan dengan metode pendidikannya yang khas.

Mari kita kembali ke awal. Lalu apa pentingnya gelar pahlawan Nasional tersebut? Buat mereka bertiga tentu sangat tidak penting. Karena mereka adalah pahlawan dalam arti yang sebenarnya, yakni yang berjuang ikhlas hanya berharap pahala dari Allah swt (pahala-wan). Karena faktor keikhlasan itulah setelah kemerdekaan diraih para kyai, ulama dan santri itu kembali melanjutkan amal mereka di sawah, ladang, pesantren dan lain-lain. Sementara pemerintahan akhirnya diisi oleh mereka yang tidak ikut berjuang atau ikut berjuang tapi tidak cinta Islam.

Para pejuang kemerdekaan berjuang atas motivasi mempertahankan aqidah dan memperjuangkan agama Allah di bumi ini. Maka ketika adanya penjajahan yang otomatis akan merusak aqidah, umat Islam bangkit melawan. Jelas benar bahwa pejuang kemerdekaan seluruhnya adalah kaum muslimin tidak yang lain. Hanya umat Islamlah yang memerdekakan negeri ini dari penjajahan. Karena buat kaum muslimin saat itu perjuangan kemerdekaan adalah jihad fi sabilillah. Mereka sangat menyadari bahwa akan tetap hidup di sisi Allah sekalipun syahid di medan perang. Allah swt berfirman,

“Laa tahsabanna ladziina qutiluu fii sabiilillahi amwaatan bal ahyaaun ‘inda Robbihim yurzaquun…” (Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan diberi rezeki…)

Maka tidak lain dan tidak bukan, Islamlah yang memerdekakan Negeri ini, karena seluruh pejuang kemerdekaan beragama Islam. Menurut penelitian Guru Besar Ilmu Sejarah UNPAD Dr. Ahmad Mansur Suryanegara; Tokoh pejuang kemerdekaan asal wilayah timur Nusantara Thomas Mattulesy ternyata bernama Muhammad atau Ahmad Lesy seorang muslim. Kenapa demikian, karena wilayah timur Indonesia dari dulu sampai saat ini komposisi muslim dan non-muslim seimbang bahkan pada awalnya hanya ada Islam. Tidak benar jika dikatakan bahwa wilayah timur mayoritas non muslim. Bahkan Islamlah yang pertama kali menapakkan kaki di wilayah tersebut. Dalam buku Neiuw Guinea karangan WC Klein tertulis fakta bahwa Islam masuk Papua pada 1569. Barulah pada 5 Februari 1855, dua misionaris Kristen mendarat di Pulau Mansinam, Manokwari, Papua. Ternyata menurut buku Penduduk Irian Barat (hal 105) sebagian besar tentara dan orang Belanda yang ditempatkan di Papua adalah rohaniawan Gereja (misionaris Katolik dan Zending Protestan). Hal ini semakin menambah bukti bahwa Kristen disebarkan melalui jalan penjajahan dan pertumpahan darah.

Sementara itu Kata ‘Maluku’ diambil dari bahasa Arab muluk (Raja-Raja), wilayah maluku saat ini dan Papua awalnya dikuasai dan diperintah oleh para Raja Islam (Sultan) sebelum akhirnya datang misionaris-misionaris Kristen yang mempertahankan adat dan tradisi jahiliyyah di wilayah tersebut. Sehingga upacara-upacara kemusyrikan dan pakaian yang tidak syar’i dipertahankan dengan dalih pelestarian budaya. Tragisnya, ternyata hal itu dilanjutkan secara legal oleh pemerintah kita hingga detik ini.

Padahal, menurut para Da’i yang bertugas di sana termasuk Ustadz Fadhlan Garamatan seorang Da’i putra asli daerah. Warga Papua sebenarnya malu dan tidak ingin lagi memakai koteka. Namun demi pelestarian budaya daerah, pemerintah tetap mantap dalam pembodohan struktural terhadap rakyatnya tersebut. Ustadz Fadhlan menggambarkan betapa warga pedalaman Papua begitu senang bisa mandi menggunakan sabun sebelum mereka di syahadat-kan. Sebelumnya mereka mandi dengan melumuri badannya dengan minyak babi atas petunjuk para misionaris Kristen.

Raja Sisinga Mangaraja juga adalah muslim yang taat. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, tidak benar kalau raja Sisinga Mangaraja adalah penganut agama leluhur tapi dia adalah seorang muslim yang taat. Termasuk para pejuang Nasional yang kita kenal, mereka semuanya muslim. Pangeran Diponegoro adalah Ustadznya Istana dan para penasihatnya adalah para Kyai. Imam Bonjol, Cut Nyak Dien dan lain-lain semuanya adalah para ulama dan santri.

Konsekuensinya umat-umat yang lain khususnya umat Kristiani tidak punya andil sama sekali dalam perjuangan kemerdekaan. Umat Kristiani tidak mungkin akan bangkit berjuang melawan penjajah. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi sementara agama yang dianutnya dengan agama para penjajahnya sama? Akankah mereka akan membunuh saudara seimannya? Lebih-lebih kita tahu Kristen disebarkan melalui penjajahan. Menurut keterangan Ahmad Mansur Suryanegara, “orang Kristen pada waktu itu, bukan lagi tidak punya andil dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan mereka membantu kaum penjajah!” (hal tersebut beliau sampaikan langsung kepada penulis, saat penulis panel bersama beliau dalam Studium General Milad Pemuda Muhammadiyah ke-99 di Subang 22 Nopember 2008). Bagi yang mengerti sejarah hal ini adalah fakta yang teramat jelas. Jadi sungguh mengherankan ketika mereka menuntut lebih. Bahkan sedikitpun sebenarnya mereka tidak berhak, ketika faktanya mereka tidak punya saham apapun dalam perjuangan kemerdekaan.

Katakan dulu di BPUPKI dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, tercantum nama Maramis dan Latuharhary dua orang perwakilan umat Kristiani. Namun sungguh keberadaan dua orang tersebut faktanya masih buram. Jika benar mereka ada (bukan fiktif), apakah mereka tidak malu mengaku-ngaku tapi tidak memperjuangkan kemerdekaan, atau menurut beberapa sumber mereka sengaja mendompleng atau didomplengkan oleh Soekarno agar terlihat bahwa umat Kristiani juga punya peran dalam kemerdekaan Republik ini. Selain mereka juga termasuk yang habis-habisan menolak Piagam Jakarta.

Begitu besarnya peran umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan, dalam bukunya ‘Menemukan Sejarah’ Ahmad Mansur Suryanegara menuliskan beberapa data di antaranya :

1. Pengakuan George Mc Turner Kahin seorang Indonesianis (Nationalism and revolution Indonesia) bahwa ada 3 faktor terpenting yang mempengaruhi terwujudnya integritas Nasional; 1) Agama Islam dianut mayoritas rakyat Indonesia, 2) Agama Islam tidak hanya mengajari berjama’ah, tapi juga menanamkan gerakan anti penjajah, 3) Islam menjadikan bahasa Melayu sebagai senjata pembangkit kejiwaan yang sangat ampuh dalam melahirkan aspirasi perjuangan Nasionalnya.

2. Bahwa pelopor gerakan Nasional bukan Budi Utomo tetapi Syarekat Islam (SI) yang memasyarakatkan istilah Nasional dan bahasa Melayu ke seluruh Nusantara, anggotanya beragam dan terbuka. Sementara Budi Utomo; menolak persatuan Indonesia, memakai bahasa Jawa dan Belanda dalam pergaulannya, bersikap ekslusif di luar pergerakan Nasional dan keanggotaannya hanya untuk kalangan Priyayi (Bangsawan/ningrat) saja.

3. Pelopor pembaharuan sistem pendidikan Nasional adalah Muhammadiyah (1912) 10 tahun lebih awal dari Taman Siswa (1922). Muhammadiyah sudah memakai bahasa Melayu sementara Taman Siswa berbahasa Jawa dan Belanda. Hal paling mengerikan adalah pendiri Taman Siswa Ki Hajar Dewantara ternyata sangat membenci Islam.

4. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dipelopori oleh para pemuda Islam atas prakarsa para ulama dalam rapat Nasional PSII di Kediri pada 27-30 September 1928. Dan masih banyak lagi-lagi fakta-fakta lain yang belum terungkap…

Pada hakikatnya dan seharusnya negeri ini adalah negeri Islam. Karena salah satu sumber hukum positif di negeri ini adalah Syariat Islam. Dicantumkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai menjiwai UUD 1945 oleh Soekarno menjadi dasar sahih keharusan negeri ini diatur oleh syari’at Islam selain faktor histories yang sudah dikemukakan di atas. Maka sebelumnya, saat ini dan seterusnya seluruh produk perundang-undangan yang lahir harus mengandung nilai-nilai syari’at.

Dengan dasar tersebut sungguh tidak logis dan inkonstitusional jika ada sebagian kalangan yang menggugat perda-perda bernuansa Syariah. Termasuk UU Pornografi yang juga sebenarnya belum murni syari’ah. Tanpa malu-malu mereka mengancam akan berpisah dari NKRI, seolah-olah NKRI membutuhkan mereka. Sesungguhnya, mereka harus berpisah diri-diri mereka saja dari bumi Indonesia, karena wilayah timur atau wilayah manapun di negeri ini adalah milik umat Islam.

Negeri ini lahir atas buah karya keikhlasan para mujahid pejuang kemerdekaan atas Berkat Rahmat Allah swt. Sebagaimana tercantum dengan tegas dalam Pembukaan UUD 1945 “Atas Berkat Rahmat Allah swt….” Karena jika tidak atas Berkat Rahmat Allah swt tidak mungkin bambu runcing dapat menang melawan senjata-senjata otomatis penjajah.

Para muarrikhin (sejarawan) mengatakan “sejarah milik penguasa”. Perjuangan seorang Mohammad Natsir dan kawan-kawan yang berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan dan mempersatukan Indonesia dalam NKRI banyak tidak diketahui oleh para pewarisnya (rakyat Indonesia), karena Natsir memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara sementara para penguasa tidak menginginkannya.

Sebagian besar dari kita atau anak-anak kita di sekolah tidak mengenal sosok para mujahid tersebut. Dengan dianugerahkannya gelar Pahlawan Nasional maka sudah menjadi keharusan materi sejarah diluruskan di buku-buku sejarah anak-anak kita. Hal yang sebenarnya paling ditakuti oleh penguasa. Dimana pemikiran dan perjuangan sosok-sosok itu akan dibaca yang kemudian membangkitkan ruh jihad di dada-dada generasi Islam. Sehingga gelar pahlawan yang secara otomatis pengakuan konstitusional itu, senantiasa diulur-ulur.

Mereka khawatir jika setiap kali keluar dari kelas, para siswa akan memekikkan takbir Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar !!!
http://www.dakta.com/daktatorial/4746/hanya-islam-yang-memerdekakan-negeri-ini.html

Hanya Islam yang memerdekakan negeri ini

Hanya Islam yang memerdekakan negeri ini
Diposting Pada 23 Jul 2010

“Kalaulah suatu penduduk Negeri beriman dan bertaqwa kepada Allah, niscaya kami akan membuka kan berkah buat mereka dari langit dan dari bumi…” (Al-A’raf : 96)

Setiap tanggal 10 November rakyat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan Nasional. 10 November sebuah tanggal yang monumental buah perjuangan arek-arek Suroboyo di bawah pimpinan pejuang besar kemerdekaan, Bung Tomo. Namun naas, karena sejarah milik penguasa. Nasib Bung Tomo tiada ubahnya bak pesakitan dan pengkhianat bangsa. Ia di penjara oleh rezim yang berkuasa. Namun bagaimana pun juga, akhir sejarah Allah lah yang menentukan. Bung Karno kena tulah dari ucapannya yang terkenal “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa para pahlawannya.” Ia terjungkal dari kekuasaan dengan cara yang mengenaskan dan jadi pesakitan yang sebenarnya, karena ulahnya tidak mampu menghargai jasa para pejuang. Hal yang sama terjadi kepada penggantinya, Soeharto.

Bung Tomo Jum’at 7 November 2008 lalu akhirnya ditetapkan oleh pemerintah sebagai pahlawan Nasional bersama Dr. Mohammad Natsir dan KH. Abdul Halim. Ketiga Mujahid pejuang kemerdekaan ini-seandainya masih hidup-mungkin akan bergumam “ah, malu aku. Hanya seperti inikah kemampuan pelanjutku dalam menghargai perjuangan yang berdarah-darah itu?” Bukan berarti mereka mengharapkan penghargaan. Terlintas di pikiran pun tentunya tidak.

Dr. Mohammad Natsir seorang Ulama besar yang diakui dunia, da’i, pendidik dan politisi ulung yang mempersatukan negara-negara boneka buatan kolonial Belanda dengan mosinya yang terkenal, Mosi Integral Natsir, menjadi Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI). Mosi yang disebut-sebut sebagai proklamasi kemerdekaan Indonesia yang kedua setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Akhirnya dipercaya menjadi Perdana Menteri pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia . Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan di tiga kabinet yang berbeda masa Soekarno. Dimana menurut pengakuan Bung Hatta, Bung Karno tidak pernah mau menandatangani surat-surat pemerintah jika tidak disusun dan dibaca dulu oleh Natsir.

KH. Abdul Halim Ulama kharismatik asal Majalengka Jawa Barat – penulis sendiri lahir dan besar di kota yang sama merasakan kharisma beliau yang begitu kuat pada masyarakat setempat – melahirkan banyak para pejuang kemerdekaan dengan metode pendidikannya yang khas.

Mari kita kembali ke awal. Lalu apa pentingnya gelar pahlawan Nasional tersebut? Buat mereka bertiga tentu sangat tidak penting. Karena mereka adalah pahlawan dalam arti yang sebenarnya, yakni yang berjuang ikhlas hanya berharap pahala dari Allah swt (pahala-wan). Karena faktor keikhlasan itulah setelah kemerdekaan diraih para kyai, ulama dan santri itu kembali melanjutkan amal mereka di sawah, ladang, pesantren dan lain-lain. Sementara pemerintahan akhirnya diisi oleh mereka yang tidak ikut berjuang atau ikut berjuang tapi tidak cinta Islam.

Para pejuang kemerdekaan berjuang atas motivasi mempertahankan aqidah dan memperjuangkan agama Allah di bumi ini. Maka ketika adanya penjajahan yang otomatis akan merusak aqidah, umat Islam bangkit melawan. Jelas benar bahwa pejuang kemerdekaan seluruhnya adalah kaum muslimin tidak yang lain. Hanya umat Islamlah yang memerdekakan negeri ini dari penjajahan. Karena buat kaum muslimin saat itu perjuangan kemerdekaan adalah jihad fi sabilillah. Mereka sangat menyadari bahwa akan tetap hidup di sisi Allah sekalipun syahid di medan perang. Allah swt berfirman,

“Laa tahsabanna ladziina qutiluu fii sabiilillahi amwaatan bal ahyaaun ‘inda Robbihim yurzaquun…” (Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan diberi rezeki…)

Maka tidak lain dan tidak bukan, Islamlah yang memerdekakan Negeri ini, karena seluruh pejuang kemerdekaan beragama Islam. Menurut penelitian Guru Besar Ilmu Sejarah UNPAD Dr. Ahmad Mansur Suryanegara; Tokoh pejuang kemerdekaan asal wilayah timur Nusantara Thomas Mattulesy ternyata bernama Muhammad atau Ahmad Lesy seorang muslim. Kenapa demikian, karena wilayah timur Indonesia dari dulu sampai saat ini komposisi muslim dan non-muslim seimbang bahkan pada awalnya hanya ada Islam. Tidak benar jika dikatakan bahwa wilayah timur mayoritas non muslim. Bahkan Islamlah yang pertama kali menapakkan kaki di wilayah tersebut. Dalam buku Neiuw Guinea karangan WC Klein tertulis fakta bahwa Islam masuk Papua pada 1569. Barulah pada 5 Februari 1855, dua misionaris Kristen mendarat di Pulau Mansinam, Manokwari, Papua. Ternyata menurut buku Penduduk Irian Barat (hal 105) sebagian besar tentara dan orang Belanda yang ditempatkan di Papua adalah rohaniawan Gereja (misionaris Katolik dan Zending Protestan). Hal ini semakin menambah bukti bahwa Kristen disebarkan melalui jalan penjajahan dan pertumpahan darah.

Sementara itu Kata ‘Maluku’ diambil dari bahasa Arab muluk (Raja-Raja), wilayah maluku saat ini dan Papua awalnya dikuasai dan diperintah oleh para Raja Islam (Sultan) sebelum akhirnya datang misionaris-misionaris Kristen yang mempertahankan adat dan tradisi jahiliyyah di wilayah tersebut. Sehingga upacara-upacara kemusyrikan dan pakaian yang tidak syar’i dipertahankan dengan dalih pelestarian budaya. Tragisnya, ternyata hal itu dilanjutkan secara legal oleh pemerintah kita hingga detik ini.

Padahal, menurut para Da’i yang bertugas di sana termasuk Ustadz Fadhlan Garamatan seorang Da’i putra asli daerah. Warga Papua sebenarnya malu dan tidak ingin lagi memakai koteka. Namun demi pelestarian budaya daerah, pemerintah tetap mantap dalam pembodohan struktural terhadap rakyatnya tersebut. Ustadz Fadhlan menggambarkan betapa warga pedalaman Papua begitu senang bisa mandi menggunakan sabun sebelum mereka di syahadat-kan. Sebelumnya mereka mandi dengan melumuri badannya dengan minyak babi atas petunjuk para misionaris Kristen.

Raja Sisinga Mangaraja juga adalah muslim yang taat. Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, tidak benar kalau raja Sisinga Mangaraja adalah penganut agama leluhur tapi dia adalah seorang muslim yang taat. Termasuk para pejuang Nasional yang kita kenal, mereka semuanya muslim. Pangeran Diponegoro adalah Ustadznya Istana dan para penasihatnya adalah para Kyai. Imam Bonjol, Cut Nyak Dien dan lain-lain semuanya adalah para ulama dan santri.

Konsekuensinya umat-umat yang lain khususnya umat Kristiani tidak punya andil sama sekali dalam perjuangan kemerdekaan. Umat Kristiani tidak mungkin akan bangkit berjuang melawan penjajah. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi sementara agama yang dianutnya dengan agama para penjajahnya sama? Akankah mereka akan membunuh saudara seimannya? Lebih-lebih kita tahu Kristen disebarkan melalui penjajahan. Menurut keterangan Ahmad Mansur Suryanegara, “orang Kristen pada waktu itu, bukan lagi tidak punya andil dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan mereka membantu kaum penjajah!” (hal tersebut beliau sampaikan langsung kepada penulis, saat penulis panel bersama beliau dalam Studium General Milad Pemuda Muhammadiyah ke-99 di Subang 22 Nopember 2008). Bagi yang mengerti sejarah hal ini adalah fakta yang teramat jelas. Jadi sungguh mengherankan ketika mereka menuntut lebih. Bahkan sedikitpun sebenarnya mereka tidak berhak, ketika faktanya mereka tidak punya saham apapun dalam perjuangan kemerdekaan.

Katakan dulu di BPUPKI dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, tercantum nama Maramis dan Latuharhary dua orang perwakilan umat Kristiani. Namun sungguh keberadaan dua orang tersebut faktanya masih buram. Jika benar mereka ada (bukan fiktif), apakah mereka tidak malu mengaku-ngaku tapi tidak memperjuangkan kemerdekaan, atau menurut beberapa sumber mereka sengaja mendompleng atau didomplengkan oleh Soekarno agar terlihat bahwa umat Kristiani juga punya peran dalam kemerdekaan Republik ini. Selain mereka juga termasuk yang habis-habisan menolak Piagam Jakarta.

Begitu besarnya peran umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan, dalam bukunya ‘Menemukan Sejarah’ Ahmad Mansur Suryanegara menuliskan beberapa data di antaranya :

1. Pengakuan George Mc Turner Kahin seorang Indonesianis (Nationalism and revolution Indonesia) bahwa ada 3 faktor terpenting yang mempengaruhi terwujudnya integritas Nasional; 1) Agama Islam dianut mayoritas rakyat Indonesia, 2) Agama Islam tidak hanya mengajari berjama’ah, tapi juga menanamkan gerakan anti penjajah, 3) Islam menjadikan bahasa Melayu sebagai senjata pembangkit kejiwaan yang sangat ampuh dalam melahirkan aspirasi perjuangan Nasionalnya.

2. Bahwa pelopor gerakan Nasional bukan Budi Utomo tetapi Syarekat Islam (SI) yang memasyarakatkan istilah Nasional dan bahasa Melayu ke seluruh Nusantara, anggotanya beragam dan terbuka. Sementara Budi Utomo; menolak persatuan Indonesia, memakai bahasa Jawa dan Belanda dalam pergaulannya, bersikap ekslusif di luar pergerakan Nasional dan keanggotaannya hanya untuk kalangan Priyayi (Bangsawan/ningrat) saja.

3. Pelopor pembaharuan sistem pendidikan Nasional adalah Muhammadiyah (1912) 10 tahun lebih awal dari Taman Siswa (1922). Muhammadiyah sudah memakai bahasa Melayu sementara Taman Siswa berbahasa Jawa dan Belanda. Hal paling mengerikan adalah pendiri Taman Siswa Ki Hajar Dewantara ternyata sangat membenci Islam.

4. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dipelopori oleh para pemuda Islam atas prakarsa para ulama dalam rapat Nasional PSII di Kediri pada 27-30 September 1928. Dan masih banyak lagi-lagi fakta-fakta lain yang belum terungkap…

Pada hakikatnya dan seharusnya negeri ini adalah negeri Islam. Karena salah satu sumber hukum positif di negeri ini adalah Syariat Islam. Dicantumkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai menjiwai UUD 1945 oleh Soekarno menjadi dasar sahih keharusan negeri ini diatur oleh syari’at Islam selain faktor histories yang sudah dikemukakan di atas. Maka sebelumnya, saat ini dan seterusnya seluruh produk perundang-undangan yang lahir harus mengandung nilai-nilai syari’at.

Dengan dasar tersebut sungguh tidak logis dan inkonstitusional jika ada sebagian kalangan yang menggugat perda-perda bernuansa Syariah. Termasuk UU Pornografi yang juga sebenarnya belum murni syari’ah. Tanpa malu-malu mereka mengancam akan berpisah dari NKRI, seolah-olah NKRI membutuhkan mereka. Sesungguhnya, mereka harus berpisah diri-diri mereka saja dari bumi Indonesia, karena wilayah timur atau wilayah manapun di negeri ini adalah milik umat Islam.

Negeri ini lahir atas buah karya keikhlasan para mujahid pejuang kemerdekaan atas Berkat Rahmat Allah swt. Sebagaimana tercantum dengan tegas dalam Pembukaan UUD 1945 “Atas Berkat Rahmat Allah swt….” Karena jika tidak atas Berkat Rahmat Allah swt tidak mungkin bambu runcing dapat menang melawan senjata-senjata otomatis penjajah.

Para muarrikhin (sejarawan) mengatakan “sejarah milik penguasa”. Perjuangan seorang Mohammad Natsir dan kawan-kawan yang berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan dan mempersatukan Indonesia dalam NKRI banyak tidak diketahui oleh para pewarisnya (rakyat Indonesia), karena Natsir memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara sementara para penguasa tidak menginginkannya.

Sebagian besar dari kita atau anak-anak kita di sekolah tidak mengenal sosok para mujahid tersebut. Dengan dianugerahkannya gelar Pahlawan Nasional maka sudah menjadi keharusan materi sejarah diluruskan di buku-buku sejarah anak-anak kita. Hal yang sebenarnya paling ditakuti oleh penguasa. Dimana pemikiran dan perjuangan sosok-sosok itu akan dibaca yang kemudian membangkitkan ruh jihad di dada-dada generasi Islam. Sehingga gelar pahlawan yang secara otomatis pengakuan konstitusional itu, senantiasa diulur-ulur.

Mereka khawatir jika setiap kali keluar dari kelas, para siswa akan memekikkan takbir Allahu Akbar…Allahu Akbar…Allahu Akbar !!!
http://www.dakta.com/daktatorial/4746/hanya-islam-yang-memerdekakan-negeri-ini.html

Rencana Pembakaran Al Qur'an pada 11 September

Kamis, 12 Agustus 2010 04:07
E-mail Cetak PDF

Umat Muslim di seluruh dunia harus memberikan respon yang sangat keras atas rencana pembakaran Al-Quran untuk memperingati robohnya gedung World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 di Amerika Serikat mendatang. Rencana pembakaran Al-Quran itu akan dilakukan oleh kelompok jamaah salah satu gereja di AS yang menamakan dirinya Dove World Outreach Center pimpinan Pastor Terry Jones.

Jika rencana pembakaran Al-Quran ini benar-benar terjadi akan terjadi potensi konflik yang sangat besar. Amerika cenderung membiarkan masyarakatnya berekspresi dengan bebas sehingga hal ini sangat berbahaya bagi kedamaian dunia. Harus ada kerja keras untuk menggagalkan rencana pembakaran Al-Quran di AS.
Pemerintah Indonesia harus mengirimkan pesan perdamaian untuk menggagalkan rencana aksi pembakaran Al-Quran kepada Pemerintah AS. Rencana aksi Pembakaran Al-Quran di AS menjadi besar karena sudah diliput oleh salah satu media internasional Cable News Network(CNN).

Source : http://sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2365:rencana-pembakaran-al-quran-pada-11-september&catid=87:berita-anda&Itemid=286

Mushollah BaitusSyakuur 1430 H

Mushollah BaitusSyakuur 1430 H
Tampak dari samping pintu utama